Pentingnya E-Learning bagi dunia pendidikan
Seiring dengan perkembangan ilmu dan
teknologi yang semakin hari semakin bertambah pesat dan masuknya internet ke
sekolah-sekolah membawa angin segar bagi dunia pendidikan. Dahulu internet
dianggap oleh sebagian orang begitu tabu, karena di internet banyak menyajikan
situs-situs porno dan lain-lainnya yang negatif. Namun berkat kerja keras dari
Pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat
Pembinaan SMK yang sejak Tahun 1999 selalu aktif dan gencar mensosialisasikan
manfaat positif penggunaan internet di sekolah melalui pengembangan program
teknologi informasi bagi sekolah SMK baik itu melalui pendidikan dan pelatihan,
workshop bagi guru-guru dan penyediaan infrastruktur seperti jaringan
pendidikan nasional atau yang lebih dikenal dengan Jardiknas.
Dengan adanya
Jardiknas melalui program ICT Center, maka dapat mempermudah para warga sekolah
untuk dapat mengakses secara gratis. Para siswa dan guru dapat memperoleh
informasi yang berkaitan dengan pembelajaran, sehingga proses belajar mengajarpun
tidak harus melalui tatap muka di kelas seperti misalnya Program D3 TKJ (
Teknik Komputer dan Jaringan ) kerjasama pihak Jardiknas dengan Perguruan
Tinggi terkait merupakan salah satu bentuk pembelajaran/perkuliahan jarak jauh,
dimana para mahasiswa selain belajar di kampus, mahasiswa lebih banyak belajar
lewat fasilitas jardiknas yang ada di ICT Center. Proses pembelajaran yang
dilaksanakan Program D3 TKJ merupakan salah satu contoh bentuk E-Learning.
Apakah itu E-Learning ? E-Learning merupakan sistem pembelajaran elektronik,
dimana peserta didik atau murid tidak perlu duduk di dalam kelas untuk menyimak
setiap materi pembelajaran yang disampaikan guru secara langsung, tetapi dapat
disimak setiap saat pada tempat dimana saja yang terhubung dengan fasilitas
internet. Sebagaimana yang disebutkan di atas, e-learning telah mempersingkat
waktu pembelajaran dan membuat biaya studi lebih ekonomis. E-learning
mempermudah interaksi antara peserta didik dengan bahan/materi, peserta didik
dengan dosen/guru/instruktur maupun sesama peserta didik. Peserta didik dapat
saling berbagi informasi dan dapat mengakses bahan-bahan belajar setiap saat
dan berulang-ulang, dengan kondisi yang demikian itu peserta didik dapat lebih
memantapkan penguasaannya terhadap materi pembelajaran. Dalam e-learning,
faktor kehadiran guru atau pengajar otomatis menjadi berkurang atau bahkan
tidak ada. Hal ini disebabkan karena yang mengambil peran guru adalah komputer
dan panduan-panduan elektronik yang dirancang oleh “contents writer”, designer
e-learning dan pemrogram komputer.
Dengan adanya e-learning para
guru/dosen/instruktur akan lebih mudah :
1. melakukan pemutakhiran bahan-bahan
belajar yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan
keilmuan yang mutakhir
2. mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna
meningkatkan wawasannya
3. mengontrol kegiatan belajar peserta didik.
Untuk itu
para guru dapat membuat pola pembelajaran melalui konsep E-Learning sebagai
tambahan materi di luar konsep pembelajaran yang konvensional melalui tatap
muka di kelas. Lalu bagaimanakah cara membuat situs E-Learning ? E-Learning
dapat dibuat dengan berbagai macam program seperti Microsoft Power Point atau
program lainnya. Dan dapat pula dibuat dengan menggunakan Web Blog seperti blogger.com,
multiply.com atau wordpress.com dan lain-lainnya.Dengan memiliki Web Blog para
guru dapat menyajikan program materi pengajaran melalui Web Blog, selain
memiliki Web Blog secara pribadi, guru dapat memberikan tugas kepada siswa
melalui Web Blognya sehingga siswa dapat mendownload materi ataupun tugas yang
diberikan oleh gurunya dan dapat dikerjakan oleh siswa yang hasilnya dikirimkan
melalui e-mail gurunya masing-masing atau dicetak dan dikumpulkan di
kelas.Dengan menggunakan layanan yang ada di internet maka telah dilaksanakan
konsep E-Learning pada dunia pendidikan. Untuk itu sudah saatnya para guru atau
praktisi dunia pendidikan untuk dapat memiliki Web Blog dan E-Mail sebagai
sarana komunikasi antara guru dengan peserta didik. Semoga dengan melalui
E-Learning, mutu pendidikan di sekolah dapat ditingkatkan sehingga pendidikan
dapat merata dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.( fibri ) Fibri Aryanto
/fibriaryanto TERVERIFIKASI (HIJAU) Belajar hidup sederhana dan terbuka.
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/fibriaryanto/pentingnya-e-learning-bagi-dunia-pendidikan_550e42c4a33311b52dba80e8
Hadirnya homescooling
beberapa tahun belakangan ini turut meramaikan dunia pendidikan
Indonesia. Sebagai salah satu alternatif pendidikan yang relatif baru,
tentu saja masih banyak kalangan yang meragukan homeschooling.
Pernyataan seputar homeschooling pun muncul seperti tentang siapa
gurunya, di mana tempat belajarnya, apa yang dipelajari, bagaimana
proses belajar homeschooler (pelaku homeschooling), bagaimana
evaluasinya dan lain sebagainya. Perntanyaan-pertanyaan tersebut
sebenarnya adalah pertanyaan mengenai bagaimana kurikulum homeschooling
itu sendiri. Berbeda dengan jalur Pendidikan Non formal seperti Paket A,
Paket B, dan Paket C, sampai saat ini belum ada kurikulum baku yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk homeschooling. Dalam pelaksanaannya,
setiap homeschooling memiliki kurikulum yang berbeda-beda.
Kurikulum homeschooling memang bersifat customized. Artinya,
homeschooling memiliki pilihan untuk menentukan kurikulum yang diacu
sesuai dengan kebutuhan dan minat homeschooler, ingin memperoleh ijazah
resmi dari pemerintah dengan mengikuti ujian kesetaraan. Kurikulum yang
digunakan harus diintegrasikan dengan kurikulum Departemen Pendidikan
Nasional dan bahan-bahan pelajaran yang diujikan dalam ujian kesetaraan
ke dalam program homeschooling yang dilaksanakan.
A. Homeschooling
Secara harfiah, homeschooling adalah sekolah yang diadakan di rumah,
namun secara hakiki ia adalah sebuah sekolah alternarif yang menempatkan
anak sebagai subjek dengan pendekatan pendidikan secara at home. Dengan
pendekatan ini, anak merasa nyaman. Mereka bisa belajar sesuai dengan
keinginan dan gaya belajar masing-masing, kapan saja dan di mana saja,
sebagaimana ia tengah berada di rumahnya sendiri. (Versiansyah, 2007:
18)
Secara prinsipil, homeschooling atau sekolah rumah menurut Kembara
(2007: 16) adalah konsep pendidikan pilihan yang diselenggarakan oleh
orang tua. Proses belajar mengajar diupayakan berlangsung dalam suasana
kondusif dengan tujuan agar potensi setiap anak yang unik dapat
berkembang secara maksimal.
Menurut Yulaelawati (2006), homeschooling atau dalam bahasa Indonesianya
sekolah rumah adalah proses layanan pendidikan secara sadar, teratur,
dan terarah yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga. Dalam konteks
itu, proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif.
Tujuannya adalah agar setiap potensi yang dimiliki peserta didik
berkembang secara maksimal.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan homeschooling
didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1, ayat 1, dalam undang-undang
tersebut berisi "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya." Hal ini berarti
bahwa tidak ada pembatasan bahwa proses pendidikan hanya boleh
dilaksanakan melalui pendidikan formal di dalam kelas, berkelompok, dan
harus dengan satu atau dua guru yang berdiri di depan kelas.
Pendidikan dapat juga diperoleh dengan cara informal dan hasilnya dapat
diakui setelah peserta didik mengikuti ujian kesetaraan melalui Paket A,
Paket B, dan Paket C. Hal ini ditegaskan dalam Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 27 ayat 1 bahwa "Kegiatan pendidikan informal
yang dilakukan oleh keluarga dan lingkunan berbentuk kegiatan belajar
secara mandiri". Pada ayat (2), dinyatakan bahwa "Hasil pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal
dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar
pendidikan nasional.
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Pendidikan Luar Sekolah, Departemen
Pendidikan Nasional telah mengatur pelaksanaan homeschooling dengan
mengeluarkan buku panduan yang berjudul "Komunitas Rumah sebagai Satuan
Pendidikan Kesetaraan". (Sumardiono, 2007: 61).
Komunitas homeschooling sendiri merupakan satuan pendidikan jalur
pendidikan nonformal. Acuan mengenai eksistensi komunitas homeschooling
terdapat dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 26 ayat 4. Ayat tersebut berisi "Satuan
pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim,
serta satuan pendidikan yang sejenis". Dalam homeschooling itu sendiri,
orang tua bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan homeschooler.
Karena itu, orang tua juga berperan sebagai pengemban kurikulum.
Homeschooling adalah salah satu model sekolah alternatif, juga sekolah
alam yang memungkinkan anak belajar dengan cara masing-masing yang
membebaskan mereka untuk berkreasi, mengekspresikan perasaan, dan
sebagainya. Intinya tidak membebani anak dan tidak menjadikan sekolah
itu seperti penjara. Seharusnya, sekolah itu membebaskan ide-ide kreatif
mereka. Seto Mulyadi (2007: 5) mengemukakan bahwa "Pendidikan itu untuk
anak, belajar itu hak dan bukan kewajiban". Sekarang anak-anak lebih
banyak diperlakukan seperti robot; harus patuh, anak untuk kurikulum,
sarat kekerasan, dan kadang sekadar mengejar nilai bukan proses. Ini
sangat merugikan bagi pengembangan kreativitas dan kemandirian anak.
Kalau ada delapan standar pendidikan nasional yang disusun oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP), maka yang harus diikuti hanya tiga;
yaitu standar isi kurikulum, standar kompetensi lulusan dan standar
evaluasi. Sebaliknya, standar proses, standar guru, standar biaya,
standar sarana prasarana, bebas. Adapun cara mengevaluasinya yaitu
dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan standar kompetensi yang
diharuskan. Seto Mulyadi menambahkan bahwa penelitian di AS menunjukkan,
mereka yang di home schooling, secara akademik maupun psiko-sosial
banyak yang lebih tinggi daripada anak-anak yang di sekolah biasa.
Di homeschooling sendiri, guru hanya berperan sebagai fasilitator proses
belajar. Guru juga bisa belajar bersama-sama dengan peserta didik.
Tempat belajrnya bisa di mana saja, di tenda, rumah, atau pasar.
Sesekali mereka bisa diajak keluar, misalnya ke kantor polisi, pemadam
kebakaran atau apa saja. Intinya homeschooling tetap mengedepankan
kepentingan terbaik bagi anak. Bukan anak untuk kurikulum, tetapi
kurikulum untuk anak. Jadi, kurikulum didesain untuk anak dalam kondisi
yang berbeda.
B. Pengembangan Kurikulum
Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang
berarti berlari dan curere yang berarti tempat berpacu. Dengan
demikian, istilah kurikulum berasal dari dunia olahraga pada zaman
Romawi kuno di Yunani, yang mengandung pengertian jarak yang harus
ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finish. Selanjutnya,
kurikulum ini digunakan dalam dunia pendidikan dan mengalami perubahan
arti sesuai dengan perkembangan dan dinamika yang ada pada dunia
pendidikan. (Abdullah, 2007: 184)
Secara garis besar kurikulum dapat diartikan sebagai suatu program yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Akan tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa kurikulum tidak hanya
mencakup hal-hal yang direncanakan, tetapi juga mencakup hal-hal yang
tidak direncanakan, yaitu apa yang disebut dengan The Hidden Curriculum
atau kurikulum tersembunyi. (Nasution, 1993: 11)
Pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan pengembangan
komponen-komponen kurikulum yang membentuk sistem kurikulum itu sendiri,
yaitu komponen tujuan, bahan, metode, peserta didik, pendidik, media,
sumber belajar, dan lain sebagainya
Peserta didik terkadang tidak mendapat pelajaran yang tidak direncanakan
sebelumnya, seperti metode belajar yang ia kembangkan sendiri agar
dapat memahami pengetahuan yang ia peroleh, atau memperoleh pelajaran
baru selain dari yang telah "direncanakan" dalam kurikulum sebelumnya.
Dalam homeschooling, kemungkinan the hidden curriculum lebih sering
terjadi dibandingkan dalam sekolah formal. Ini dikarenakan hommschooler
lebih bebas berekspresi dibandingkan dengan peserta didik pada sekolah
formal.
Ada beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum yang ditawarkan
oleh Nana Syaodih (2005: 150-151), Pertama; Prinsip Relevansi. Ada dua
macam relevansi yaitu relevansi ke luar dan ke dalam kurikulum sendiri.
Relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar yang
tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan,
dan pengembanan masyarakat. Kurikulum menyiapkan peserta didik untuk
bisa hidup dan bekerja dalam masyarakat. Kurikulum hendaknya
mempersiapkan peserta didik untuk tugas tersebut. Sebaliknya, relevansi
di dalam kurikulum itu sendiri, yaitu ada kesesuaian atau konsistensi
antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses
belajar, dan penilaian. Kedua, Prinsip Fleksibilitas. Kurikulum
hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Kurikulum mempersiapkan
anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang. Kurikulum yang baik
adalah kurikulum yang berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam
pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian
berdasarkan kondisi daerah, waktu, maupun kemampuan, dan latar belakang
anak. Ketiga; Prinsip Kontinuitas, yaitu kesinambungan. Perkembangan dan
proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak
terputus-putus. Oleh karena itu, pengalaman belajar yang disediakan
kurikulum hendaknya berkesinambungan, yaitu dari kelas satu sampai kelas
tiga. Keempat, Prinsip Praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan
alat-alat sederhana dan biayanya juga rumah. Prinsip ini disebut juga
prinsip efisiensi. Kelima; Prinsip Efektivitas. Keberhasilan kurikulum
baik secara kuantitas maupun kualitas harus diperhatikan. Karena
keberhasilan kurikulum akan memengaruhi keberhasilan pendidikan.
C. Jenis Kurikulum
1. Separated Subject Curriculum
Kurikulum ini dipahami sebagai kurikulum mata pelajaran yang terpisah
satu dengan lainnya. Kurikulum mata pelajaran terpisah (separated
subject curriculum) berarti kurikulumnya dalam bentuk mata pelajaran
yang terpisah-pisah, yang kurang mempunyai keterkaitan dengan mata
pelajaran lainnya. Konsekuensinya, peserta didik harus semakin banyak
mengambil mata pelajaran. (Abdullah, 2007: 142)
Kurikulum ini terdiri dari mata pelajaran, yang tujuannya adalah peserta
didik harus menguasai bahan dan tiap-tiap mata pelajaran yang telah
ditentukan secara logis, sistematis, dan mendalam. kurikulum ini
menghendaki anak mengambil mata pelajaran yang lebih banyak. Misalnya,
ada mata pelajaran Matematika, Fisika, Biologi, Agama, PKn, Sejarah,
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan lain sebagainya.
2. Corelated Curriculum
Kurikulum jenis ini mengandung arti bahwa sejumlah mata pelajaran
dihubungkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga ruang lingkup
bahan yang tercakup semakin luas. Sebagai contoh, pada saat anak belajar
Agama yang berkaitan dengan kewajiban seorang muslim terhadap tetangga,
dapat dikaitkan dengan mata pelajaran PKn yang mengajarkan tentang ke
3. Broad Fields Curriculum
Hilda Taba menyatakan bahwa the broad fields curriculum adalah usaha
meningkatkan kurikulum dengan mengkombinasikan beberapa mata pelajaran.
Misalnya, Fisika, Kimia dan Biologi disatukan menjadi Ilmu pengetahuan
Alam.
4. Integrated Curriculum
Kurikulum terpadu merupakan suatu produk dari usaha pengintegrasian
bahan pelajaran dari berbagai macam mata pelajaran. Integrasi diciptakan
dengan memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan
solusinya dengan materi atau bahan dari berbagai disiplin atau mata
pelajaran (Abdullah, 2007: 146). Sebagai contoh kunjungan anak TK ke
Benteng Otanaha, Pantai Indah, Pelabuhan Soekarno yang ada di Kelurahan
Dembe Kecamatan Kota Barat, (sejarah), akan memberikan kontribusi pada
anak. Kontribusi tersebut antara lain dapat berupa pengenalan tempat
bersejarah peninggalan Portugis (penjajah). Selain itu, anak juga dapat
melihat dan memperoleh pengetahuan tentang telapak kaki Lahilote
(dongeng/mitos), dapat menambah wawasan pengetahuan tentang kunjungan
Bapak Proklamator yang pernah berkunjung ke Gorontalo menggunakan
pesawat Amphibi serta nilai-nilai sejarah yang ada di museum tersebut
(sejarah). Manfaat lainya adalah pengembangan bahasa anak, dalam hal ini
adalah bahassa Indonesia. Anak dapat menceritakan kembali pengalaman
mereka selama perjalanan berwisata.
Kurikulum terpadu mempunyai ciri yang fleksibel dan tidak menghendaki
hasil belajar yang sama dari semua peserta didik. Guru, orang tua, dan
peserta didik merupakan komponen-komponen yang bertanggung jawab dalam
proses pengembangan kurikulum.
D. Konsep Kurikulum Homeschooling
Konsep kurikulum homeschooling mengacu pada konsep kurikulum humanistik.
Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik.
Aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada peserta didik. Mereka
bertolak dari asumsi bahwa anak adalah yang pertama dan utama dalam
pendidikan. Peserta didik (peserta didik/warga belajar) adalah subjek
yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa anak
mempunyai potensi, yaitu suatu kemampuan, bakat, kekuatan dan segala apa
yang dimiliki oleh peserta didik untuk berkembang dan dikembangkan.
Pandangan ini berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih
menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru.
Pendidikan humanistik menekankan peranan peserta didik. Pendidikan
merupakan suatu upaya untuk menciptakan situasi yang permisif, rileks,
dan akrab. Berkat situasi tersebut anak mengembangkan segala potensi
yang dimilikinya. Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif
dan mendorong peserta didik untuk mencari dan mengembangkan pemecahan
sendiri. (Syaodih, 2005: 87).
E. Pendekatan Pengembangan Kurikulum Homeschooling
Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa pendekatan. Secara
teoretis, dalam kerangka pendekatan sistemik dan pendekatan kontekstual,
terdapat lima model pengembangan pendekatan kurikulum yang berlaku
sejak tahun 1950-an sampai 2000-an. Model pendekatan kurikulum ini
meliputi:
a. Model Tyler
Menurut Tyler, pengembangan kurikulum mencakup tujuan, pengalaman
belajar, pengelolaan belajar, dan penilaian tujuan belajar.
b. Model Taba
Menurut Taba, pengembangan kurikulum mencakup diagnosis, kebutuhan,
rumusan tujuan, seleksi dan organisasi konten, manifestasi pengalaman
belajar, serta penilaian.
c. Model Teknik-Saintifik
Pengembanan kurikulum ini mencakup penyusunan perencanaan, penyusunan
struktur lingkungan belajar, pengkoordinasian sumber daya manusia, bahan
dan peralatan, mempunyai derajat objektivitas, universalitas, percaya
pada efisien dan efektivitas dari sistem, serta dunia dilihat sebagai
mesin yang dapat digambar, dibut, dan diminati.
d. Model Nonteknik-Nonsaintifik
Pengembangan kurikulum ini berorientasi pada hal-hal yang subjektif,
pribadi, keindahan, penalaran dan transaksi, bg
, dan dunia merupakan suatu benda
hidup.
e. Model Pendidikan Berbasis Hasil Belajar
Pengembangan kurikulum ini mencakup penentuan hasil belajar, penentuan
pengetahuan, kompetensi, kinerja, dan penentuan cara mendesain,
menyampaikan dan mendokumentasikan pembelajaran, (Yulaelawati, 2004:
29-30).
Jika dilihat dari beberapa model pengembangan kurikulum di atas, maka
model pengembangan kurikulum homeschooling lebih cenderung mengarah
kepada model nonteknik-nonsaintifik. Kurikulum homeschooling merupakan
sesuatu yang dinamis.
Pendekatan nonteknik-nonsaintifik dilatarbelakangi oleh pendekatan
kontekstual. Dalam pendekatan ini pengambilan keputusan dalam
pengembangan kurikulum sangat berorientasi pada peserta didik melalui
cara-cara aktif dalam pembelajaran, (Yulaelawati, 2004: 31). Di
homeschooling, seorang anak bisa saja mempelajari sesuatu selama
berminggu-minggu tanpa beralih ke yang lainnya, atau malah sebaliknya,
untuk mempelajari sesuatu homeschooler bisa saja menempuhnya dalam waktu
yang tidak begitu lama. Selain itu, anak dapat memilih apa yang
diinginkannya. Dengan demikian, model pengembangan kurikulum yang tepat
untuk homeschooling adalah model nonteknik-nonsaintifik.
Simpulan
Dari uraian di atas, diperoleh simpulan bahwa kurikulum homeschooling
bersifat customzed, sesuai dengan minat dan kebutuhan anak. Dengan
demikian, konsep kurikulumnya mengacu pada konsep humanistik. Model
pengembangannya pun bersifat nonteknik-nonsaintifik, sehingga tanggung
jawab pengembangan berada pada orang tua, pendamping belajar dan
homeschooler itu sendiri.
Daftar Pustaka
Abdullah, Idi. 2007. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Chris Versiansyah. 2007. Homeschooling: Rumahku Kelasku, Dunia
Sekolahku. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara
Ella Yulaelawati. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan
Aplikasi. Bandung: Pakar Raya
Nana Syaodih, Sukmadinata. 2005. Pengembangan Kurikulum: Teori dan
Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasution. 1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Mulyadi. Seto. 2007. Pendidikan Alternatif yang Membebaskan.
---------- 2007. Homeschooling Keluarga Kak Seto. Bandung: Kaifa.
Soetopo & Soemanto. 1993. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum:
Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Halim Malik
/unik
TERVERIFIKASI (HIJAU)
N~A~I~F
Selengkapnya...
Follow
0
4
0
0
KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI
TANGGUNGJAWAB PENULIS.
LABEL edukasi humaniora
TULIS TANGGAPAN
TOTAL TANGGAPAN : 0
NILAI : 4
Beri Nilai
Julianto Simanjuntak
Bermanfaat
Fandi Ahmad Abdillah
Bermanfaat
renda kusumo
Bermanfaat
gergaji jiwa
Bermanfaat
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/unik/pengembangan-kurikulum-home-schooling_5500ad2ea33311e772511a41